Foto: Akademisi Kebijakan Pendidikan Praditiyo Ikhram, S.Pd. (Cuplikcom/IDW)
Jakarta-Cuplikcom-Judul ini mungkin terdengar mengejutkan, tapi mari kita hadapi kenyataan pahit ini. Menurut Dr. Agus Triyanto, seorang ahli bahasa Indonesia, keterlambatan membaca selama 7 tahun di kalangan masyarakat Indonesia adalah fakta yang tidak bisa diabaikan. Banyak anak-anak baru benar-benar mulai membaca pada usia 7 tahun, tepat ketika mereka masuk kelas 1 SD. Jadi, apakah salah jika kita menyebut sekolah sebagai tempat penitipan anak terbaik untuk orang tua yang "sangat sibuk"?
Seperti dilansir Kompas.com, di SMP Negeri Teli'u, Kecamatan Amanuban Timur, ditemukan sebanyak 16 siswa yang tidak bisa membaca. Lebih mengejutkan lagi, di SDN Cideng 07, Jakarta Pusat, masih ada siswa kelas 1 yang belum bisa membaca. Bukankah ini memalukan?
Wahai para orang tua terhormat, sekolah bukanlah tempat penampungan anak. Sekolah seharusnya menjadi tempat kolaborasi yang berkesinambungan antara guru dan orang tua. Mengapa? Karena pendidikan yang efektif dan efisien tidak akan berhasil tanpa kerjasama yang harmonis.
Website Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung Barat menyatakan bahwa pendidikan membutuhkan kolaborasi antara orang tua di rumah dan guru di sekolah. Kedua belah pihak perlu membuka pintu komunikasi selebar-lebarnya, berdiskusi mengenai perkembangan anak dengan pemikiran terbuka, hati yang lapang, dan saling menghormati.
Anak-anak bukanlah produk yang bisa dititipkan begitu saja ke sekolah. Mereka membutuhkan masa depan yang dibentuk oleh kolaborasi antara orang tua dan guru. Jadi, jika Anda para orang tua belum siap menerima tanggung jawab dalam memilih pasangan hidup, mendidik anak dari buaian hingga dewasa, mungkin sebaiknya tunda dulu. Jangan terus-menerus mengandalkan orang lain untuk mendidik anak Anda sementara Anda sendiri tidak mau terlibat.
Mari kita jadikan sekolah sebagai tempat yang benar-benar mendidik, bukan sekadar tempat penitipan anak.
Penulis : Praditiyo Ikhram, S.Pd.
(Akademisi Kebijakan Pendidikan & Wakil Koordinator Indonesia Education Watch)